Mayday baru saja berlalu, dan gema dari banyaknya
tuntutan kaum buruh masih hangat, bisnis jateng.com menyebutkan Sejumlah aksi
demonstrasi buruh yang digelar di Yogyakarta
menuntut adanya peningkatan kesejahteraan kaum buruh dan sekaligus untuk
memperingati hari Buruh Sedunia (May Day).
Tuntutan umum kaum buruh adalah peningkatan kesejahteraan mereka dengan
peningkatan upah kerja dan dihapuskannya system outsourcing yang merugikan. Termasuk
para pekerja/buruh disini adalah perempuan.
Banyak perempuan yang menjadi buruh pada pabrik.
Dipilihnya perempuan karena standar upah perempuan yang lebih murah, kemudian
perempuan juga juga dianggap lebih teliti untuk pekerjaan halus, seperti pada
pabrik rokok dan garmen. Sehingga tuntutan
buruh perempuan ini salah satunya juga adalah untuk menuntut persamaan standar
upah dengan pria, dan terpenuhinya hak pekerja perempuan seperti mendapatkan 2
hari cuti setiap bulan (hari pertama haid), cuti melahirkan yang cukup dan
fasilitas menyusui yang layak bahkan cuti hamil.
Tingkat upah buruh
Selama ini Indonesia memberlakukan UMP (upah
minimum propinsi) sebagai patokan upah/gaji.
Besaran UMP antara masing-masing propinsi berbeda hal ini dituangkan
dalam UU no 13 pasal 88 bahwa penentuan upah
minimum diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan
kehidupan yang layak. Upah minimum ditentukan
oleh Gubernur setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi
yang terdiri dari pihak pengusaha,
pemerintah dan serikat buruh/serikat pekerja ditambah perguruan tinggi dan pakar.
Upah kerja yang diberikan biasanya tergantung pada:
1. biaya keperluan hidup minimum pekerja dan keluarganya
2. peraturan per-undang-undangan yang mengikat tentang upah minimum
regional
3. kemampuan dan produktivitas perusahaan
4. jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi
5. perbedaan jenis pekerjaan
Kebijakan komponen gaji/upah ditetapkan
oleh masing-masing perusahaan. Yang jelas, gaji tidak boleh lebih rendah dari Upah Minimum
Propinsi (UMP) yang ditetapkan
pemerintah.
Selain menetapkan
hak buruh dengan standar upah minimum pemerintah juga menetapkan Dalam pasal 95
UU no 13/2003 tentang Tenaga Kerja, pemerintah
pengenaan denda kepada perusahaan dan/atau
pekerja dalam pembayaran upah.
Perusahaan dapat
mengenakan denda kepada pekerja yang melakukan pelanggaran, sepanjang hal itu diatur dalam secara tegas dalam suatu
perjanjian tertulis/peraturan perusahaan. Besarnya denda untuk setiap
pelanggaran harus ditentukan dan dinyatakan
dalam perjanjian tertulis/peraturan perusahaan.
Apabila untuk satu
perbuatan sudah dikenakan denda,
perusahaan dilarang untuk menuntut
ganti rugi terhadap pekerja yang bersangkutan. Ganti rugi dapat diminta oleh perusahaan dari pekerja,
apabila terjadi kerusakan
barang/kerugian lainnya baik milik perusahaan maupun milik pihak ketiga oleh
pekerja karena kelalaian/kesengajaan. Ganti rugi harus diatur terlebih dahulu dalam perjanjian
tertulis/peraturan perusahaan dan
setiap bulannya tidak boleh lebih dari 50% dari upah.
Denda yang dikenakan oleh
perusahaan kepada pekerja tidak boleh dipergunakan
untuk kepentingan pengusaha atau orang yang berwenang untuk menjatuhkan denda
tersebut.
Dilema UMP
Secara umum upah diberikan oleh pengusaha dengan
dasar kerelaan dan kemampuannya untuk membayar, begitu juga dari sisi pekerja,
mereka bekerja dengan upah dan jenis pekerjaan yang rela mereka terima dan rela
mereka kerjakan.
Namun dalam keadaan saat ini dimana banyaknya
tenaga kerja dan terbatasnya jenis pekerjaan membuat orang berlomba-lomba
mendapatkan pekerjaan, termasuk perempuan, selain beratnya kehidupan saat ini.
Pemerintah menganggap ketika upah diserahkan pada
mekanisme pasar maka upah akan menjadi rendah karena banyaknya penawaran tenaga
kerja, tidak akan mencukupi kebutuhan hidup minimum, terutama untuk tenaga
kerja unskill. Masalahnya di Indonesia
yang banyak adalah tenaga kerja unskill, sehingga didorong dengan UMP/UMR
supaya mendapatkan upah layak.
Disisi lain, kenaikan upah biasanya diikuti dengan
kenaikan harga barang, sehingga tetap saja naiknya upah belum menjadikan
kehidupan para buruh menjadi layak. Dari
sisi pengusaha upah merupakan salah satu komponen biaya, yang apabila dinaikkan
maka akan memotong keuntungan, sehingga untuk mendapatkan keuntungan yang sama,
pengusaha akan menaikkan harga produk mereka, atau mengurangi penggunaan tenaga
kerja/buruh (PHK).
Selain dibebani dengan UMP pengusaha juga dibebani
dengan kewajiban menyediakan fasilitas yang layak bagi buruh khususnya buruh
perempuan termasuk pengaturan dan pengamanan ekstra bagi pekerja perempuan yang
shift malam, juga sejumlah tunjangan-tunjangan lain diluar upah pokoknya.
Karena berbagai kewajiban inilah maka banyak
perusahaan/pengusaha yang lebih memilih menggunakan tenaga kerja kontrak dengan
system outsourcing, karena dengan begitu mereka tidak perlu memikirkan kenaikan
gaji, tunjangan dan lain-lain toh buruh yang ada bukanlah pekerja mereka yang
kalau diberhentikan harus memberikan ganti rugi, dengan outsourcing perusahaan
cukup menghentikan kontraknya, mengganti dengan yang lain, tidak perlu mengeluarkan
biaya pelatihan dan lain-lain. Peraturan
inilah yang ingin dihapuskan oleh buruh, karena dianggap merugikan kaum buruh.
Disisi tenaga kerja, saat ini yang terpenting
adalah mendapatkan pekerjaan, apalagi umumnya tenaga outsourcing adalah perempuan
dan freshgraduate. Mereka biasanya
dipekerjakan pada Bank dan perusahaan telekomunikasi. Persyaratan yang
cenderung mudah (dibandingkan rekrutmen perusahaan) merupakan salah satu
pendorong kaum perempuan masuk keindustri tenaga kerja. Namun pada akhirnya upah yang mereka terima
dalam system outsourcing ini tidak juga mereka rasa layak sehingga mereka pun
menuntut hak-hak mereka yang menurut mereka tidak terpenuhi.
Solusi Islam mengenai upah
Upah dalam islam adalah konsekuensi yang timbul
sebagai akibat dari adanya aqad ijaroh antara ajir dan musta’jir. Aqad ini seperti halnya aqad lain dalam islam
berlandaskan keridhaan kedua belah pihak. Sehingga dalam aqadnya dijelaskan
kewajiban pekerja/buruh/ajir apa saja yang menjadi pekerjaan dan tanggung
jawabnya dan apa saja yang menjadi haknya, termasuk masa kerjanya. Demikian
juga hak dan kewajiban dari si musta’jir, sehingga dengan aqad yang jelas ini
akan menghindarkan kedua belah pihak dari sengketa dan ketidak pastian.
Berdasarkan aqad dan kerelaan inilah upah
ditetapkan oleh masing-masing pekerja dan majikan sehingga tidak ada standar
upah minimal apalagi dengan standar layak bagi penghidupan.
Selain menetapkan perkara upah, Islam telah mengatur bahwa ada hukum
yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam bekerja. Laki-laki bekerja mencari nafkah adalah
wajib, sedangkan wanita bekerja adalah mubah, sehingga dengan hukum asal
seperti ini dorongan bagi wanita adalah menjadi ummu wa robbatul bait. Dengan pembagian seperti ini maka tidak akan
ada perebutan lahan kerja antara pria dan wanita
No comments:
Post a Comment