Friday, November 30, 2007

Macet Lagi

Macet lagi, macet lagi…..

Macet bukan karena semua kendaraan keluar kejalanan secara serempak, tai macet karena hampir di semua SPBU terdapat antrian. Khususnya kendraan yang menggunakan solar sebagai bahan bakarnya. Pemandangan ini hampir ada diseluruh propinsi di republic tercinta. Bahkan di kaltim para sopoir bus menolak pembatasan/penjatahan pembelian solar, karena dengan penjatahan tersebut mereka tidak bisa beroperasi seperti biasa. Sebenarnya ada apa dibalik fenomena antrian ini?

Kenaikan harga minyak dunia

Beberapa waktu sangat gencar pemberitaan mengenai kenaikan harga minyak dunia, dan hal ini merupakan salah satu penyebab dari antrian tadi. Namun pertanyaan berikutnya mengapa Indonesia yang merupakan salah satu lumbung minyak justru kesulitan minyak? Layaknya anak ayam yang mati di lumbung padi.

Meski Indonesia memiliki cadangan minyak yang cukup banyak dan merupakan salah satu pengekspor minyak minyak mentah, namun Indonesia juga merupakan salah satu pengimpor minyak. Minyak yang dieksplore di Indonesia berupa minyak mentah diekspor keluar negeri. Dengan kenaikan harga minyak dunia maka Indonesia juga mengalami peningkataan penerimaan dari kenaikan tersebut. Disisi lain harga minyak olahan, juga mengalami kenaikan. Konsumsi minyak olahan di indonesia saat ini merupakan hasil impor, sehingga dengan kenaikan harga minyak mentah maka harga minyak olahan juga mengalami kenaikan. Berefek pada pengeluaran untuk impor minyak olahan kedalam negeri.

Selama ini minyak olahan (BBM, Avtur, Solar dll) yang dijual didalam negeri merupakan harga subsidi sehingga harga jauh dibawah harga minyak olahan dunia. Hal ini karena minyak merupakan salah satu komoditas strategi yang jika dibiarkan mengikuti harga dunia akan menyebabkan kekacauan dalam ekonomi dan keamanan. Sehingga untuk menstabilkan keadaan dibuatlah kebijakan subsidi. Subsidi inilah yang kini menjadi beban bagi APBN sehingga pembatasan/penjatahan penggunaan menjadi salah satu alternatif mengatasi pembengkakan anggaran negara.

Sekarang yang menjadi persoalan adalah berapa besar penerimaan yang diperoleh dari ekspor kenaikan harga minyak mentah, dan berapa pengeluaran akibat impor minyak olahan, dan selisihnya itulah subsidi.

Persoalan ini sebenarnya bukan persoalan baru. Sejak orde sebelumnya kenaikan harga minyak sudah menjadi kepastian. Namun pemerintahan yang ada tidak pernah mengambil pelajaran dari hal ini.

Impor minyak olahan merupakan salah satu komponen biaya yang cukup besar yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini karena kita tidak memiliki instalasi pengolahan minyak yang memadai, (kalau tidak mau dikatakan tidak punya sama sekali) selain itu konsesi tambang yang diberikan kepada pihak swasta yang membuat swasta berhak menjual hasil bumi rakyat ini kepada negara manapun yang menguntungkan mereka, juga menambah pelik persoalan.

Solusi

Kekayaan alam yang ada dinegeri ini merupakan milik rakyat, artinya semua digunakan untuk rakyat. Pengelolaannya dipegang oleh negara. Dalam hal ini negara wajib menyediakan harga yang terjangkau, jumlah yang mencukupi dan kemudahan bagi rakyat untuk menikmati hartanya yakni minyak.

Bila persoalaannya negeri ini tidak memiliki instalasi pengolahan minyak, maka wajib diadakan, toh selama ini kita mampu menmbuat pesawat tentunya kita juga mampu mengolah minyak kita sendiri dan mengekspor minyak olahan bukan minyak mentah. Kalau persoalannya adalah konsesi tambang pihak swasta, sebagai penguasa tentu sangat mudah bagi pemerintah untuk mengatur kewajiban mereka memenuhi kebutuhan dalam negeri dulu baru menjual kepada yang lain.

Tentunya hal ini bukan hal yang sulit bagi pemerintah selama mereka memang memiliki i’tikad baik bagi kemakmuran rakyatnya. Sehingga fenomena macet lagi- macet lagi karena ngantri BBM tidak akan pernah terulang lagi.

Tuesday, November 13, 2007

Strategi Siapa??

ada banyak pendapat mengenai kondisi pendidikan kita saat ini, salah satunya yakni pendapat para pakar yang berhasil menelurkan kebijakan baru mengenai pendidikan, nah... sekarang waktunya mengkritisi benarkah pendidikan kita bebas intervensi dan sungguh-sungguh untuk mencerdaskan bangsa??
cermati hasil dari telusuranku ini

STRATEGIC OBJECTIVE START DATE: 2004

STRATEGIC OBJECTIVE END DATE: 2009

Improve health, education, environment and other conditions for the global population

Department of State-USAID Strategic Goal

Problem Analysis

Indonesia’s education system is failing its youth. Education management is in disarray, funding is inadequate, quality is declining, and millions of children are dropping out each year. As a result, the majority of Indonesian children are being deprived of the skills and knowledge required to participate in a global economy and their own democracy. The poor quality of education is also leaving Indonesian children more susceptible to the appeal of those who advocate extreme solutions to the many problems the country is facing. A better quality education that stresses critical thinking and reasoning skills, tolerance, commitment to democratic processes, and an understanding of global viewpoints is needed to help counter extremism. From the early 1970s until the economic crisis of 1998, Indonesia’s education system grew rapidly under the guidance of a centralized government, achieving almost universal enrollment in primary school. Emphasis was placed on access, school construction, national curriculum, and centralized management. Little emphasis, however, was put on the quality of teaching and learning. In 2001, the decentralization process in Indonesia transferred responsibility for approximately 220,000 primary, junior secondary, and senior secondary schools to local governments. Funding for public education through senior secondary school, and the administration of 1.6 million teachers and education administrators, now resides with local governments unprepared to effectively manage these resources. To date, the Ministry of National Education (MONE) and provincial administration education offices have been unable to develop capabilities that allow local governments to improve education systems. Public funding for education is currently estimated to be between 1% and 2% of GDP, the lowest in the region. The Government of Indonesia (GOI) has recently committed through law to increase this to 20% of national and local budgets but it is uncertain if or when this target will be met. The vast majority of education funding goes to salaries for teachers and administrators, and little to supplies or training. Highly dependent on block grants from central government and lacking effective means to raise

their own sources of revenue, local governments’ education budgets go almost exclusively to salaries.


The poor quality of basic education in Indonesia is apparent. Results of the 1999 International Mathematics and Science Study showed that out of 38 countries, Indonesian students ranked 34th in math and 32nd in science. The majority of schools continue to employ “rote” methods of non-interactive learning. Teachers continue to rely on these antiquated techniques and teach “to the curriculum” rather than ensuring that children learn. For far too many children, this means trying to copy and memorize what

teachers write on a blackboard. The national curriculum has been widely criticized. While an updated curriculum will be introduced in 2004, few teachers are trained to teach it. Less than half of the primary teachers meet the 1989 standard of a two-year postsecondary teaching diploma. Only two-thirds of junior secondary teachers hold the minimum qualification of a three-year post secondary teaching diploma. Approximately half the children who start primary school do not complete junior secondary school. The combination of reduced public funding as a result of the economic crisis, higher costs of schooling, and lower family incomes result in higher dropout rates. According to a World Bank study, in 1998-99 dropout rates in primary schools rose 3.1% and in junior high rose 6.4%. Urban areas and girls, in particular, were impacted. As a result of increasing school drop-out rates, Indonesia is unable to meet the demand for nonformal education services. There is a nonformal education equivalency curriculum for those who have dropped out of school. However the capacity to provide these services is limited as relevant teaching resources and materials are largely unavailable.


The Strategic Objective

Over the next six years, $157 million in U.S. Government assistance will be used to IMPROVE THE QUALITY OF BASIC EDUCATION in Indonesia. A planned total of $133 million will be provided by USAID and $24 million will be programmed by the Embassy’s Public Affairs Section. If additional resources become available, funding for this initiative could increase up to $210 million over six years. Under the planning budget scenario of $157 million (of which $133 million will be programmed by USAID), assistance will directly reach up to 100 local governments, including currently underserved districts, and four million students (10% of the national total). Additional funding will raise the number of localities in which the program can operate and increase national impact. Current budgeting designated for out–of–school youth is limited and unable to fully address the needs of this target population. A proportion of any additional funding will target this group. To meet this Strategic Objective, the achievement of three intermediate results is

necessary:

MORE EFFECTIVE DECENTRALIZED MANAGEMENT AND GOVERNANCE OF SCHOOLS IMPROVED QUALITY OF TEACHING AND LEARNING INCREASED EDUCATION RELEVANCE AND WORKFORCE SKILLS FOR YOUTH

Achieving the Objective

The announcement of the U.S. education initiative was met with a chorus of criticism rooted in suspicions that the U.S. wished to revise Indonesia’s national curriculum so that “children think like Americans,” and would apply pressure on the GOI to severely limit the educational role of Indonesia’s Islamic schools.

The Embassy and USAID have worked closely with Indonesian leaders to emphasize the secular intentions of the initiative and to overcome suspicion of U.S. intent, with the result that the U.S. initiative is now warmly welcomed and seen as timely. The program will select schools without reference to religion, using objective, neutral, secular criteria that neither promotes nor inhibits a religion. USAID will ensure that its assistance is available to all types of schools, whether Islamic, Christian, Buddhist, Hindu, government, or private.

Apa pendapat kalian membaca tulisan ini? Dijamin ini bukan Cuma hayalan saya aja, dan juga bukan Cuma kebaikan hati dari USAID atau mungkin karena bahasa inggris saya yang pas-pasan sehingga salah menangkap maksudnya?

Tapi yang jelas saya tahu satu hal, tulisan ini dibuat pada 28 juli 2004 dalam dokumen setebal 512 halaman dengan judul USAID STRATEGIC PLAN for INDONESIA 2004 – 2008 STRENGTHENING A MODERATE, STABLE AND PRODUCTIVE INDONESIA. Tentu saja saya juga punya keyakinan bahwa tidak mungkin tidak ada udang di balik bakwan kan? Masa sii untuk bikin renstrat begitu aja para pakar kita ga mampu sampe harus menyewa usaid untuk mikir dan bikin solusi dengan versi mereka???

BHP : Mematikan Rakyat!!!

aku dapet tulisan cakep ini waktu lagi di bogor baca aja ya...

Indonesia : Kolam Uang Paman Gober

Sumber

Kekayaan

Pengelolaan

Kilang LNG Arun

Aceh

17,1 triliun kubik gas

Kapasitas produksi : 220 kargo atau 6.5 juta ton/ th

Pertamina : 55%

Exxon : 30%

Japan Indonesia : 15%

Blok Cepu

78.1 juta barel minyak

Produksi : 165 ribu barel/ hari

Exxon : 45%

Pertamina : 45%

Daerah : 10%

Papua

86.2 juta ons emas

32.2 juta perak

Total produksi : 25.8 juta ons emas, 7.5 juta ton tembaga

Free port : 81. 28%

IndocopperInvestama:9.4%

Pemerintah : 9.4%


Gak bermaksud membuat puyeng dengan menampilkan data-data yang sangat rumit dan gak karuan pada awal tulisan ini. Hanya ingin membuat kita sadar kalau sebenarnya “kita kaya!”. Kekayaan yang tidak akan habis bukan hanya tujuh turunan tapi empat belas turunan. Dengan kekayaan ini kita gak perlu hidup menderita, pakai pakaian butut, makan ngirit, baca koran bekas untuk dapat informasi seperti yang paman Gober lakukan agar bisa berenang di kolam koin emasnya. Kita bisa hidup sejahtera, pakai pakaian bagus, makan nasi padang setiap hari, tidak perlu baca koran bekas untuk mendapatkan informasi, pastinya hidup kita terjamin dan kita masih bisa berenang di kolam uang bila kekayan yang kita miliki ini diuangkan.

Masalahnya sekarang ini kita dipaksa hidup ngirit dan susah tapi tetep gak bisa berenang di kolam uang kekayaan kita seperti yang paman Gober lakukan. Malah yang lebih parah kita gak tahu kemana jluntrungannya kekayaan kita yang gak bakal habis 14 turunan itu. Bensin yang harusnya murah kita beli mahal, makan yang harusnya bisa setiap hari jadi satu hari sekali karena beras mahal, pakaian yang harusnya murah didapat jadi mahal dibeli, rumah yang harusnya tiap orang bisa punya jadi hanya satu atau dua orang yang punya dan yang paling marak saat ini adalah susahnya mendapatkan fasilitas pendidikan yang murah. Padahal pendidikan adalah basic need manusia yang harusnya pemenuhannya difasilitasi oleh pemerintah. Kenyataannya sekarang pemerintah dengan tega-teganya hendak melepas diri dari tanggung jawab itu lewat RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang hendak digodhok di Lembaga Perwakilan Rakyat.


BHP : Kemandirian atau Lepas Tangan????

BHP memang gak sepopuler BHMN, tapi pada dasarnya substansi yang bakal diterapkan gak jauh beda. Karena pada dasarnya BHMN adalah proyek percobaan pra BHP. Beda BHP dengan BHMN terletak pada kucuran dana dan pengelolaan insitusi pendidikan. Dalam status BHMN pada sebuah institusi pendidikan, pemerintah masih bertanggung jawab memberikan dana pendidikan meskipun pemerintah memberikan otonomi tersendiri untuk mengelolanya. Dalam status BHP pemerintah akan melepas tanggung jawab kucuran dana dan pengelolaan institusi pendidikan sepenuhnya kepada pihak pengelola dan masyarakat. Pokoknya substansi yang bakal diterapkan BHP adalah melepaskan tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan.

Latar belakang yang mulia tapi berbuah maut!. Itulah kata yang tepat untuk BHP. Dengan alasan kemandirian dan memicu daya saing institusi pendidikan negeri terhadap swasta itulah yang diiming-imingkan kepada masyarkat. Segar dalam ingatan bagaimana hasil penerapan BHMN kepada 5 PTN favorit (UI, IPB, UGM dan ITB) di Indonesia. Uang pangkal naik, biaya penyelenggaraan kuliah naik, fasilitas perkuliahan tidak berkualitas, penerimaan mahasiswa besar-besaran tanpa memperdulikan kapasitas tampung dan hal-hal mengerikan lainnya. Itu baru BHMN yang masih berada dalam tanggung jawab pemerintah, hal mengerikan apa lagi yang terjadi bila BHP diterapkan??? Pasti akan ada banyak hal mengerikan terjadi, seperti :

1. Komersialisasi Pendidikan

Kalau gak menjual diri maka institusi pendidikan itu tidak akan bisa bertahan ditengah-tengah persaingan keras dalam dunia kapitalis ini. Karena itu jangan heran bila setiap institusi pendidikan berlomba-lomba menaikkan uang pangkal, bersaing mencari proyek-proyek bantuan dari negara luar atau bank dunia (seperti IMF) yang belum tentu bisa dipercaya. Apa namanya kalau bukan komersil???

2. Kebodohan Meningkat

Gimana gak bodoh kalau basic dari pendidikan adalah untuk mencerdaskan rakyat malah membuat rakyat tidak bisa cerdas dengan membuat mahal biaya untuk sekolah. Padahal menurut survei dari UNESCO terdapat 100 juta orang miskin di Indonesia. Secara tidak langsung pendidikan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya yang hanya segelintir orang.

3. Merosotnya Mutu Pendidikan

Ketika admission fee (uang pangkal) terpenuhi tanpa embel-embel yang lain, dapat dipastikan orang-orang yang berada didalamnya hanya bermodal uang tanpa bermodal otak. Karena itu lulusan yang dikeluarkan pun patut dipertanyakan kualitasnya.

Melihat efek buruk penerapan BHP ini terhadap dunia pendidikan di Indonesia, apakah mungkin penerapannya hanya bertujuan untuk mendidik kemandirian institusi pendidikan atau BHP hanya sebuah akal-akalan pemerintah untuk lari dari tanggung jawabnya mengurusi pendidikan rakyat???

Tanda-tanda komersialisasi pendidikan di Indonesia adalah dampak langsung dari adanya kebijakan pasar bebas yang membuat pemerintah bisa melepaskan tanggung jawabnya terhadap rakyat dan membiarkan pihak asing mengobok-oboknya. Privatisasi yang dilakukan pemerintah dengan diawali munculnya 4 PTN BHMN membuat negara kita benar-benar menjadi budak asing. Kerumitan dalam pencarian dana yang dialami oleh 4 PTN BHMN tersebut membuat PTN-PTN itu melarikan permintaannya ke luar negeri atau bank dunia. Banyaknya kucuran dana untuk PTN-PTN tersebut bukannya tanpa imbalan, tapi kucuran dana itu mengikat secara tidak langsung PTN-PTN tersebut.

SDM kita dipaksa dengan smooth untuk bekerja kepada negara asing dengan label proyek penelitian. Diiming-imingi dana yang lumayan cukup banyak membuat SDM kita tergiur. Siang dan malam SDM kita bekerja tapi yang menikmati hasil dari penelitian adalah negara asing. Dengan hasil penelitiantersebut negara-negara asing itu dengan mudahnya akan melakukan eksploitasi SDA Indonesia besar-besaran.

Sekelumit dampak BHMN tidak sebanding dengan akan diterapkannya BHP, yang jelas-jelas pemerintah lepas tangan terhadap pendidikan di negaranya sendiri. Penerapan BHP akan semakin membuka peluang bagi pihak asing mengikat Indonesia untuk diambil SDA nya, dijadikan buruh SDM nya dan parahnya itu semua dilakukan dengan sukarela dan ikhlas oleh kita. Masih kurangkah segala bentuk penderitaan yang diagendakan oleh pihak asing kepada kita sehingga pemerintah dengan sukarela mengizinkan pihak asing masuk ke Indonesia???? Tidak sadarkah kita bahwa kita sedang berada dalam kungkungan sebuah perserikatan besar yang mengancam kelangsungan kehidupan kita????