Wednesday, June 13, 2012

Standar Upah Minimum Layakkah?


Mayday baru saja berlalu, dan gema dari banyaknya tuntutan kaum buruh masih hangat, bisnis jateng.com menyebutkan Sejumlah aksi demonstrasi buruh yang digelar di Yogyakarta  menuntut adanya peningkatan kesejahteraan kaum buruh dan sekaligus untuk memperingati hari Buruh Sedunia (May Day).  Tuntutan umum kaum buruh adalah peningkatan kesejahteraan mereka dengan peningkatan upah kerja dan dihapuskannya system outsourcing yang merugikan. Termasuk para pekerja/buruh disini adalah perempuan.
Banyak perempuan yang menjadi buruh pada pabrik. Dipilihnya perempuan karena standar upah perempuan yang lebih murah, kemudian perempuan juga juga dianggap lebih teliti untuk pekerjaan halus, seperti pada pabrik rokok dan garmen.  Sehingga tuntutan buruh perempuan ini salah satunya juga adalah untuk menuntut persamaan standar upah dengan pria, dan terpenuhinya hak pekerja perempuan seperti mendapatkan 2 hari cuti setiap bulan (hari pertama haid), cuti melahirkan yang cukup dan fasilitas menyusui yang layak bahkan cuti hamil.
Tingkat upah buruh
Selama ini Indonesia memberlakukan UMP (upah minimum propinsi) sebagai patokan upah/gaji.  Besaran UMP antara masing-masing propinsi berbeda hal ini dituangkan dalam UU no 13 pasal 88 bahwa penentuan upah minimum diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan yang layak. Upah minimum ditentukan oleh Gubernur setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi yang terdiri dari pihak pengusaha, pemerintah dan serikat buruh/serikat pekerja ditambah perguruan tinggi dan pakar.  Upah kerja yang diberikan biasanya tergantung pada:
1.      biaya keperluan hidup minimum pekerja dan keluarganya
2.      peraturan per-undang-undangan yang mengikat tentang upah minimum regional
3.      kemampuan dan produktivitas perusahaan
4.      jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi
5.      perbedaan jenis pekerjaan
Kebijakan komponen gaji/upah ditetapkan oleh masing-masing perusahaan. Yang jelas, gaji tidak boleh lebih rendah dari Upah Minimum Propinsi (UMP) yang ditetapkan pemerintah.
Selain menetapkan hak buruh dengan standar upah minimum pemerintah juga menetapkan Dalam pasal 95 UU no 13/2003 tentang Tenaga Kerja, pemerintah  pengenaan denda kepada perusahaan dan/atau pekerja dalam pembayaran upah.
Perusahaan dapat mengenakan denda kepada pekerja yang melakukan pelanggaran, sepanjang hal itu diatur dalam secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis/peraturan perusahaan. Besarnya denda untuk setiap pelanggaran harus ditentukan dan dinyatakan dalam perjanjian tertulis/peraturan perusahaan.
Apabila untuk satu perbuatan sudah dikenakan denda, perusahaan dilarang untuk menuntut ganti rugi terhadap pekerja yang bersangkutan. Ganti rugi dapat diminta oleh perusahaan dari pekerja, apabila terjadi kerusakan barang/kerugian lainnya baik milik perusahaan maupun milik pihak ketiga oleh pekerja karena kelalaian/kesengajaan. Ganti rugi harus diatur terlebih dahulu dalam perjanjian tertulis/peraturan perusahaan dan setiap bulannya tidak boleh lebih dari 50% dari upah.  Denda yang dikenakan oleh perusahaan kepada pekerja tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pengusaha atau orang yang berwenang untuk menjatuhkan denda tersebut.
Dilema UMP
Secara umum upah diberikan oleh pengusaha dengan dasar kerelaan dan kemampuannya untuk membayar, begitu juga dari sisi pekerja, mereka bekerja dengan upah dan jenis pekerjaan yang rela mereka terima dan rela mereka kerjakan.
Namun dalam keadaan saat ini dimana banyaknya tenaga kerja dan terbatasnya jenis pekerjaan membuat orang berlomba-lomba mendapatkan pekerjaan, termasuk perempuan, selain beratnya kehidupan saat ini.
Pemerintah menganggap ketika upah diserahkan pada mekanisme pasar maka upah akan menjadi rendah karena banyaknya penawaran tenaga kerja, tidak akan mencukupi kebutuhan hidup minimum, terutama untuk tenaga kerja unskill.  Masalahnya di Indonesia yang banyak adalah tenaga kerja unskill, sehingga didorong dengan UMP/UMR supaya mendapatkan upah layak.
Disisi lain, kenaikan upah biasanya diikuti dengan kenaikan harga barang, sehingga tetap saja naiknya upah belum menjadikan kehidupan para buruh menjadi layak.  Dari sisi pengusaha upah merupakan salah satu komponen biaya, yang apabila dinaikkan maka akan memotong keuntungan, sehingga untuk mendapatkan keuntungan yang sama, pengusaha akan menaikkan harga produk mereka, atau mengurangi penggunaan tenaga kerja/buruh (PHK).
Selain dibebani dengan UMP pengusaha juga dibebani dengan kewajiban menyediakan fasilitas yang layak bagi buruh khususnya buruh perempuan termasuk pengaturan dan pengamanan ekstra bagi pekerja perempuan yang shift malam, juga sejumlah tunjangan-tunjangan lain diluar upah pokoknya.
Karena berbagai kewajiban inilah maka banyak perusahaan/pengusaha yang lebih memilih menggunakan tenaga kerja kontrak dengan system outsourcing, karena dengan begitu mereka tidak perlu memikirkan kenaikan gaji, tunjangan dan lain-lain toh buruh yang ada bukanlah pekerja mereka yang kalau diberhentikan harus memberikan ganti rugi, dengan outsourcing perusahaan cukup menghentikan kontraknya, mengganti dengan yang lain, tidak perlu mengeluarkan biaya pelatihan dan lain-lain.  Peraturan inilah yang ingin dihapuskan oleh buruh, karena dianggap merugikan kaum buruh.
Disisi tenaga kerja, saat ini yang terpenting adalah mendapatkan pekerjaan, apalagi umumnya tenaga outsourcing adalah perempuan dan freshgraduate.  Mereka biasanya dipekerjakan pada Bank dan perusahaan telekomunikasi. Persyaratan yang cenderung mudah (dibandingkan rekrutmen perusahaan) merupakan salah satu pendorong kaum perempuan masuk keindustri tenaga kerja.  Namun pada akhirnya upah yang mereka terima dalam system outsourcing ini tidak juga mereka rasa layak sehingga mereka pun menuntut hak-hak mereka yang menurut mereka tidak terpenuhi.
Solusi Islam mengenai upah
Upah dalam islam adalah konsekuensi yang timbul sebagai akibat dari adanya aqad ijaroh antara ajir dan musta’jir.  Aqad ini seperti halnya aqad lain dalam islam berlandaskan keridhaan kedua belah pihak. Sehingga dalam aqadnya dijelaskan kewajiban pekerja/buruh/ajir apa saja yang menjadi pekerjaan dan tanggung jawabnya dan apa saja yang menjadi haknya, termasuk masa kerjanya. Demikian juga hak dan kewajiban dari si musta’jir, sehingga dengan aqad yang jelas ini akan menghindarkan kedua belah pihak dari sengketa dan ketidak pastian.
Berdasarkan aqad dan kerelaan inilah upah ditetapkan oleh masing-masing pekerja dan majikan sehingga tidak ada standar upah minimal apalagi dengan standar layak bagi penghidupan.
Selain menetapkan perkara upah, Islam telah mengatur bahwa ada hukum yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam bekerja.  Laki-laki bekerja mencari nafkah adalah wajib, sedangkan wanita bekerja adalah mubah, sehingga dengan hukum asal seperti ini dorongan bagi wanita adalah menjadi ummu wa robbatul bait.  Dengan pembagian seperti ini maka tidak akan ada perebutan lahan kerja antara pria dan wanita